Dari Pameran Hipsik di GCC: 3 Tema Kuat yang Dominasi Ruang Seni

Dari Pameran Hipsik di GCC: 3 Tema Kuat yang Dominasi Ruang Seni



– Saat memasuki ruangan utama di gedung Creative Center (GCC) Kota Tasik, Anda akan ditemani oleh lebih dari 50 karya seni lukis yang dipajang dengan rapi dan tertata secara berurutan. Koleksi ini mencakup beragam ukuran, teknik pembuatan, gaya, aliran, serta jenis-jenis lainnya yang semuanya adalah hasil kreasi sekitar 40 pelukis asal Tasik yang menjadi bagian dari Himpunan Pelaku Seni Tasik atau biasa disebut Hipsik.

Bukan hanya sampai disitu saja, pameran yang dilangsungkan mulai tanggal 26 April hingga 4 Mei serta diresmikan oleh Wakil Walikota Tasikmalaya, Dicky Chandra juga turut mengikutsertakan seniman dari berbagai usia. Ini menjadi bukti adanya dialog kreatif antara para pelaku seni visual asal Tasikmalaya yang telah lama aktif dalam dunia kesenian tersebut.

Perhatikan ini, beberapa nama seperti Rukmini Yusuf, Iwan Koeswanna, Acep Zamzam Noor, Rendra Santana, Yusa Widia, serta Yok Zafar seringkali menjadi bagian dari dunia kesenian visual di Tasikmalaya. Selain itu, kita juga memiliki Jamal Mural, Eri Aksa, Adil Dahlan, Budi Gunawan, Tono Haryono, Karina, Lisna, dan masih banyak lainnya yang turut memberikan warna dan kehidupan pada perkembangan seni rupa di kota tersebut.


3 Topik Utama Mengendalikan Pameran Hipsik!

Menganalisis karya-karya seniman Tasik yang dipamerkan di GCC dengan judul tersebut
Visual Naratif
Terdapat tiga tema utama yaitu Figur, Lingkungan atau Lanskap, serta Kehidupan Abstrak. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat karya yang menampilkan subjek Dedi Mulyadi, sebuah Desa Kampung, serta interpretasi abstrak sebagaimana dalam karya Yusa Widiana.

Ketiga tema atau objek tersebut tampak sangat dominan dalam karyanya. Meskipun ada tiga karya yang mungkin dapat disebut sebagai karya multimedia, seperti halnya karya Iwan Koeswanna.

Karya berlabel
Seri Kaki
itu merupakan kelanjutan dari
Seri Kaki
yang berhasil dicapai oleh Iwan beberapa tahun sebelumnya. Meski begitu,
Seri Kaki
sempat dipajang di berbagai lokasi.

Berbeda dengan
Seri Kaki
sebelumnya yang digambar di atas kanvas menggunakan goresan cat,
Seri Kaki
Yang ditampilkan di GCC mengenai konten multimedia tersebut. Kehadiran teks DPRD dan sepatu dalam karya yang dipamerkannya tampak seperti suatu bentuk ironis terhadap realitas sosial dan politik saat ini.

Tidak seperti hasil kerja Iwan Koeswanna, pekerjaan Tono Haryono bertajuk
Jaga Bumi (2025)
dengan menggunakan
acrylik
Di atas kanvas tersebut terdapat lukisan yang ukurannya 110 x 100 cm dipadati dengan warna-warna cerah serta diisi oleh “makhluk-makhlukan” seperti gajah dan kanguru. Di antara sosok-sosok hewan itu pun tampak juga figur seekor burung dan anjing hutan.

Kanvas pada karya berjudul
Jaga Bumi
Itu didominasi oleh warna hijau dan cokelat yang erat kaitannya dengan tumbuhan dan tanah. Karya
Jaga Bumi
Jadi seperti gambaran ketakutan para seniman atas hilangnya “hutan” yang berfungsi sebagai penyerap air.

Namun, ini juga dapat ditafsirkan sebagai bentuk ekspresi seninya terhadap kenyataan bahwa bukit, sawah-sawah, dan pegunungan di Kota Tasik berubah fungsi menjadi perumahan, mal, atau gudang.
Jaga Bumi
terlihat sebagai ekspresi artistiknya dalam ruang-ruang tinggalnya yang sekarang.

Sementara itu, Yusa Widia dalam karya berjudul
Alam Tidak Memberikan Hukuman, Tetapi Membimbing
Di atas kanvas seukuran 115 x 135 cm menggunakan medium cat minyak, Yusa terus menikmati goresan dan sapuan bebasnya sambil bereksperimen dengan warna-warna tersebut.

Tampilan garis-garis putih yang seakan menyatu dengan area-area kanvas terbuka berfungsi sebagai penguat untuk karyanya. Dengan begitu, karya seni tersebut tampak lebih bernyawa!

Sepertinya Yusa mahir mengolah garis dan warna; kedua elemen ini sering kali dibiarkan bersatu dan bercampur aduk. Hasilnya, lukisan tersebut dipenuhi oleh garis-garis dan warna-warna yang silang-bersilangan, meskipun masih dalam skala perbedaan halus antar satu sama lain. Dengan demikian, setiap karya seni dari Yusa mencerminkan kesan indah serta ketelitian.

Dan, kehidupan seni rupa di Kota Tasik tetap bertahan walaupun tidak seheboh dulu ketika seni rupa sedang populer di tanah air. Meskipun demikian, dengan adanya program lukisan tersebut,
On The Spot
(OTS) Hipsik sudah menunjukkan “kedatangannya” di kalangan warga Kota Tasik.

Seni rupa di Tasik masih aktif dan selalu menemui penduduk kota tersebut, yang kemudian membuat penulis teringat akan mitos Yunani Kuno yaitu
Sisyphus.

Sisyphus
ialah sang Raja Efira yang dikenakan hukuman untuk mengerahkan tenaga dalam menggulingkan batu besar menuju puncak bukit, namun tiap kali ia berhasil mendorongnya naik, batu tersebut bergulir turun lagi. Walau demikian, dengan kerelaan hati serta ketekunan dirinya,
Sisyphus
Lanjutkan terus melakukan itu, tanpa berhenti dan tidak merasa jemu. Dan itulah yang dimaksud dengan Seni Rupa Tasik! ***

Post Comment