Banyak orang tidak menyadari bahwa Sutan Syahrir, seorang tokoh pergerakan kemerdekaan, sempat berkunjung ke Pulau Pisang—pulau batu karas kecil di utara Pulau Naira, Kepulauan Banda, Maluku Tengah.
Pulau rempah ini, dengan pantai berpasir putihnya yang sempit, saat ini disebut sebagai “Pulau Sjahrir,” sebuah nama yang diberikan secara tulus oleh warga Banda untuk memperingati salah satu tokoh pendiri negara yang pernah dikirim jauh ke Banda Naira. Terdapat juga Pulau Hatta selain Pulau Sjahrir tersebut. Jejak sejarah Sjahrir tetap lestari di pulau kecil itu melalui cerita-cerita serta kenangan bersama dari para penduduk lokal.
Selama masa pembuangan beliau di Banda Naira antara tahun 1936 hingga 1942, Sutan Sjahrir kerapkali merasakan ketidaknyamanan hati. Agar bisa tenang, laki-laki yang lahir pada tanggal 5 Maret 1909 tersebut menghabiskan waktu dengan melakukan beberapa jenis olahraga seperti mendorong dayung kapal, menjelajahi sekitaran kepulauan, serta bercengkerama dengan para remaja setempat. Dengan julukan ‘Bung Kecil’, Sjahrir selalu mencari cara untuk menyala-nyalkan rasa cinta akan bangsanya meskipun sedang dalam situasi terbatas. Laut lepas dan sampannya melambangkan penentangan terhadap dominasi Koloni Belanda saat ia dibuang jauh dari rumah.
Pergerakan Sjahrir bagaikan tiupan angin timur yang lembut tetapi mampu merubah segala sesuatunya. Bahkan pihak Belanda menyekap dirinya dan melarang berkendara perahu akibat takut dia akan mencoba bersikeras menuju Australia—argumen ini semakin memperlihatkan rasa cemas penjajah daripada fakta sebenarnya.
Sayangnya, informasi resmi mengenai kegiatan Sutan Sjahrir di Pulau Pisang sungguh terbatas. Menurut buku yang ditulis oleh Des Alwi —anak angkat Bung Hatta serta Sjahrir sendiri— ia hanya sekilas menyinggung bahwa Sjahrir sempat memacu perahunya bersama dengan anak-anak dari Banda menuju kepulauan tersebut. Untuk Sjahrir, pengalaman-pengalaman ini menjadi suatu hal yang membuat dirinya bangga; sayangnya cerita-ceritanya jarang ditemukan pada dokumen-dokumen sejarah formal.
Di pulau yang cantik dan kecil tersebut, Des Alwi menyebutkan bahwa Sjahrir dijadikan teladan dalam hal disiplin untuk para remaja Banda. Dia pun memperkenalkan lagu “Indonesia Raya” karangan W.R. Supratman—yang menjadi ikon dari semangat Sumpah Pemuda tahun 1928.
Lagu tersebut dipersembahkan bersama-sama dengan para anak-anak di bagian timur Kepulauan Nusantara, tepatnya di sebuah pulau kecil dan jauh dari keramaian yang tidak memiliki pasokan air tawar. Pada saat itu, hujan adalah satu-satunya sumber air bagi penduduk setempat guna mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Walaupun diselimuti berbagai kendala, lagu “Indonesia Raya”, negara kesayangan kita, masih berkumandang di angkasa Pulau Pisang ini.
Sambil bekerja sama dengan Mohammad Hatta, ia mendirikan Sekolah Sore di tempat tinggal mereka yang jauh dari pusat kota. Meski hanya dilengkapi dengan tujuh meja dan kursi saja, lembaga pendidikan dasar ini bertujuan tidak hanya sebagai sarana belajar ilmu pengetahuan, tapi juga memupuk rasa nasionalisme pada murid-muridnya. Sjahrir bersama Hatta memberikan pelajaran yang melampaui batas-batas standar sistem edukasi; mereka menyisipkan pentingnya cintakan negara serta kesadaran akan tugas dalam membela kepentingan bangsa kepada para siswa.
Sekolah ini melebihi batasan dari ruang lingkup rumah pengasingannya. Sjahrir memperlakukan alam sebagaimana kelas tanpa dinding, mengajak anak-anak Banda menuju Pulau Pisang untuk latihan baris-berbaris serta bernyanyi lagu “Indonesia Raya”. Meski pulau tersebut kurang memiliki sumber air bersih, nyala semangat nasionalismenya masih teguh, menunjukkan bahwa rasa cinta kepada bangsanya bisa berkembang bahkan hingga di lokasi yang jauh tertinggal.
Meski tampak sangat kecil pada peta, Pulau Pisang ternyata memiliki cerita signifikan tentang kehidupan Sjahrir. Terletak di bagian timur Indonesia, pulau ini adalah saksi bisu ketika beliau melebarkan visi kemerdekaannya kepada generasi muda negeri, memberitahu kami bahwa pertempuran untuk merdeka dapat bermula bahkan dari lokasi terselubung sekalipun. Kehadirannya saat ini di Pulau Pisang telah menjadikannya sebagai ikon abadi dari semangat nasionalisme.
Laut, Kapal, dan Sekolah Petang
Pemindahan Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta (Hatta-Sjahrir) dari Boven Digoel ke Banda Naira di awal tahun 1936 tidak hanya berarti sebuah pergantian lokasi penenggelaman mereka. Meskipun dalam pantauan ketat rezim koloni, kedua tokoh tersebut terus menerus memperjuangkan idealismenya lewat jalur yang tak mencolok: bidang pendidikan.
Untuk Sjahrir, mendidik anak-anak Banda merupakan metode untuk membaraikan jiwa nasionalisme di tengah isolasi. Ketika pemerintahan kolonial mengesampingkan pendidikan bagi masyarakat biasa, dia malah datang dengan membawa cahaya harapan. Samudera dan kapal nelayan menjadi lambang dari kedaulatan diri—not hanya sebagai moda transportasi, tapi juga tempat pembelajaran mobile yang tersebar luaskan antusiasme perjuangan. Dia mengundang anak-anak berpetualang keliling kepulauan, mandi air laut bersama-sama, latihan formasi militer di Pulau Pisang, serta bernyanyi lagu “Indonesia Raya”. Walaupun mereka tinggal dalam situasi tertekan dan segala sesuatunya dibatasi, nyali merdekanya masih teguh berdiri.
Di pulau eksil mereka, Pulau Banda Naira, Sjahrir dan Hatta mendirikan Sekolah Sore. Walau hanya dilengkapi dengan tujuh buah meja dan kursi saja, lembaga pendidikan yang sederhana itu jadi wadah bagi para anak di Banda untuk belajar serta meresapkan semangat perlawanan. Ajaran mata pelajaran seperti Bahasa Jerman, matematika, dan kedisiplinan dipercayakan kepada Hatta, sedangkan Sjahrir bertugas mengajarkan Bahasa Belanda dan pembelajaran angka. Selain menyampaikan pengetahuan, mereka juga turut membangun kepribadian siswa-siswanya.
Salah satu ikon paling berpengaruh ialah kapal Hatta yang diwarnai dengan warna merah dan putih—merupakan ungkapan tanpa suara yang mencerminkan jiwa nasionalisme. Dalam masa eksil tersebut, Sekolah Sore bertindak sebagai tempat pertahanan akhir bagi nyala perlawanan yang tetap menyala.
Pulau Pisang: Jejak Sjahrir yang Terkubur
Jarang ada catatan tertulis yang menjelaskan tentang kehidupan Sjahrir saat dia tinggal di Pulau Pisang atau orang-orang mana yang pernah berinteraksi dengannya. Ini merupakan aspek cerita yang kurang terkenal bagi publik. Menurut warisan lisan komunitas lokal, sekitar paruh kedua abad ke-20, Pulau Pisang didiami oleh beberapa anggota keluarga keturunan Buton Cia-Cia. Keluarga yang cukup dikenal adalah keluarga Tete La Dona.
Sjahrir, yang sering kali berlayar ke pulau tersebut bersama anak-anak Banda, membina hubungan dekat dengan keluarga Tete La Dona. Kedekatan mereka sangat erat sehingga mirip seperti ikatan antara seorang pengasuh ayah dan anak, istilah dalam budaya Maluku yang menggambarkan keterikatan semacam anak kepada orang tua tiri atau asuhannya.
Pisuu, sang anak dari Tete La Dona, kerapkali mengundang Sjahrir untuk berbuka puasa bersama. Selain menyambut Sjahrir, ia pun turut merawat para remaja asal Banda yang ikut serta. Meskipun terkenal dengan ideologi sosialismenya, Pisuu masih setia pada prinsip-prinsip Islam yang telah diajarkan oleh kedua belah orangtuanya saat kecil di daerah Minangkabau. Kisah ini berkaitan dengan Muhammad Rasad dan istri keduanya, Puteri Siti Rabi’ah.
Di Pulau Pisang, dia menentukan sebuah pulau kecil yang rata di pinggiran pantai untuk digunakan shalat. Dulunya batu tersebut berdiri gagah, tetapi sekarang sudah tergeser karena erosi (Wawancara dengan Usman Latara Laga, anggota kelima dari penduduk Pulau Sjahrir, lahir pada tahun 1968).
Hubungan dekat Sjahrir dengan keluarga Tete La Dona memberikan dukungan yang dibutuhkannya selagi dia merasa terisolasi. Terpisahkan dari tempat asalnya serta daerah pertempurananya, ia mengenal keramahan dan persaudaraan di kepulauan tersebut. Dalam ketenangan pulau itu, Sjahrir bukan saja membagi ilmu pengetahuannya, namun juga membudayakan prinsip-prinsip kebebasan dan gairah nasionalisme.
Apa yang dilakukan Sjahrir dan Hatta bukan sekadar mengajar. Mereka menanamkan benih Sekolah Rakyat—sebuah konsep pendidikan yang berakar pada pembebasan dan pembentukan karakter. Bagi mereka, pendidikan bukan hanya soal penguasaan kurikulum, tetapi juga tentang menanamkan disiplin, cinta tanah air, dan semangat kemerdekaan.
Sekolah Rakyat Era Sekarang
Kini, gagasan Sekolah Rakyat diangkat kembali oleh Presiden ke-8 Indonesia, Prabowo Subianto. Program ini diklaim sebagai upaya memutus rantai kemiskinan dan mengurangi kesenjangan sosial. Konsepnya disebut-sebut bersumber dari semangat pendidikan kerakyatan yang pernah digagas tokoh-tokoh nasional seperti Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Hatta.
Akan tetapi, kebijakan pendidikan sekarang sepertinya meninggalkan esensi asli para pencetus negara tersebut. Meskipun ada penekanan terhadap kesetaraan, malahan berkembanglah sekolah-sekolah unggul yang cenderung mendukung golongan dengan kemampuan ekonomi baik. Di samping itu, situasi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah pedalaman masih sangat mengkhawatirkan.
Sebenarnya, catatan sejarah menunjukkan bahwa Sjahrir dan Hatta lebih memilih mendirikan sekolah di daerah pedalaman, menjauhi keramaian pusat pemerintahan. Mereka percaya bahwa pendidikan merupakan sebuah tugas etis serta upaya untuk berperang melawan ketidakadilan sosial. Itulah semangat yang harus kita hidupkan kembali saat ini—not hanya dengan menyebut nama-nama tersebut, namun juga secara aktif membela kepentingan rakyat biasa.
Menyulam Memori Bangsa
Pulau Pisang mungkin tidak begitu populer, tapi maknanya sejarah sangat melebihi ukuran fisiknya. Di kepulaunya yang tersembunyi ini, pejuang nasional seperti Sutan Sjahrir menghidupkan jiwa patriotisme yang kemudian menjadi penyalur api kemerdekaan bagi Indonesia. Dia menunjukkan bahwa pertempuran tidak harus bermula dari kota besar dan padat penduduk—terkadang, ia berkembang dari daerah pedesaan hening, di ujung negara yang jauh namun dipenuhi dengan kesetiaan.
Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia saat ini masih terus diteror oleh masalah ketidakseimbangan. Ketimpatan dalam hal akses menyebabkan banyak anak di daerah pedalaman ketinggalan, hanya karena lokasi kelahiran mereka berada jauh dari area perkembangan utama.
Konsep Sekolah Rakyat yang sempat diajukan oleh Sjahrir dan Hatta harus bisa menjadi panduan untuk mereka yang membuat keputusan. Pendidikan tidak melulu tentang mentransmisikan pengetahuan, namun juga mencakup pembentukan karakter, menguatkan rasa cinta tanah air, serta mendorong kesadaran akan kewajiban kepada negara. Seharusnya pendidikan ini berfungsi sebagai sarana untuk mendistribusikan kesempatan secara merata, bukannya cuma jadi mesin produksi pekerja.
Saat ini adalah waktu untuk memperjuangankan pendidikan yang adil bagi semua anak negeri — baik itu di perkotaan atau pedalaman. Layak seperti contoh yang diberikan oleh Sjahrir dan Hatta (Hatta-Sjahrir), pemberdayaan sebuah negara dimulai dengan fokus pada pendidikan yang inklusif serta merata, mulai dari gedung sekolah-sederhana di bagian timur Nusantara sampai pusat metropolitan. Pendidikan harus mendukung kebebasan, kesetaraan, dan masa depan Indonesia yang gemilang. **