Komunitas Seni Tuli Sajikan Pameran yang Menggetarkan Jiwanya Berbicara

Komunitas Seni Tuli Sajikan Pameran yang Menggetarkan Jiwanya Berbicara

 

,


Bandung

– Sebelas anggota dari komunitas Art for Deaf menyelenggarakan
pameran
Kelompok dari Galeri Orbital Dago, Bandung, akan mengadakan pameran mulai tanggal 7 sampai 18 Mei 2024. Terdapat 19 anggota muda dalam kelompok tersebut yang menampilkan hasil kerja mereka seperti lukisan dan ilustrasi baik dibuat secara manual maupun menggunakan perangkat komputer dengan tema “Sunyi Berbicara”.

Pameran Karya Seni Tuli: Terdapat Ruang Ekspresi yang Beragam

“Dalam kesunyian yang kadang dilihat sebagai hambatan, pameran ini menunjukkan bahwa kediaman merupakan area ekspresi yang luas, tempat dimana komunitas tuna rungu dapat bercerita dan mengungkapkan pengalaman mereka lewat karya seni,” ungkap Ketua Pelaksana Pameran, Renaya Sarasti, pada hari Rabu, tanggal 7 Mei 2025.

Anggota-anggota yang bertemu dan bersatu melalui platform media sosial ini semakin termotivasi untuk menyelenggarakan sebuah pameran. Seniman-seniman di balik proyek tersebut adalah Agung Fadilah, Fajri Siti Fatimah, Razqa Nayla Asshiddiqi, Revia Morizky, Perdinan Simbolon, Zakka Nurul Giffani Hadi, Muhammad Priagung, Muhammad Fiqri Hakim, Muhammad Fauzan, serta Allya Nur Halisa. Terdapat juga nama-nama lain seperti Cynthia, Fatimah Rahmah, Nur Eka Evidyanti, Refina Nuraini Ultari, Rahmat Saleh Pasa, Ghina Amalia Yuhanida, Gumelar Shalahuddin Al-Ghazi, Asiah Hanifah Qudwatunna, dan Renaya Sarasti.
Mereka berasal dari berbagai daerah antara lain Bandung beserta sekitarnya, Jakarta, Tangerang Selatan, Bekasi, Karawang, Cirebon, Semarang, Sleman, hingga ke Samarinda.



Komunitas Karya Seni Tuli menyelenggarakan pameran dengan nama Sunyi Berbicara dari tanggal 7 hingga 18 Mei 2025 di Galeri Orbital, Dago, Bandung, Jawa Barat. Tempo/Anwar Siswadi

Pada acara pameran kali ini, seni digital dan lukisan terlihat sangat mencolok. Fatimah Rahmah menyajikan situasi para siswa tunarungu ketika belajar dengan gurunya di dalam ruang kelas. Berbeda dari sebagian besar sekolah biasa, susunan tempat duduk siswa disusun secara melingkar untuk mempermudah proses belajar-mengajar. Karya-karya lain pun menceritakan tentang harapan mereka yang ingin merasakan bunyi aliran lagu serta gemericik ombak. Terdapat juga beberapa entri yang menjelaskan cerita dan pengalaman negatif selama masa pendidikan yang akhirnya membawa dampak traumatik bagi sang pelaku.

Alat Komunikasi Tanpa Suara

Selagi Agung Fadilah menampilkan karyanya melalui seni lukisan, dia membahas betapa vitalnya penggunaan tangan sebagai sarana komunikasi non-verbal antara individu tunarungu serta dengan masyarakat umum. Saat bertemu dalam rangkaian peresmian sebuah galeri pada hari Rabu tanggal 7 Mei 2025, beberapa partisipan dari kalangan tunarungu yang turut datang terlihat asik bersenda gurau menggunakan bahasa isyarat tubuh dan gestur tangan. Sejumlah orang lain memilih cara berinteraksi sambil bicara tetapi kata-kata mereka kurang bisa dipahami. Ada juga para penafsir kehadiran mereka untuk menjelaskan apa saja hal-hal yang disampaikan oleh setiap anggota tersebut.



Ilustrasi digital karya Agung Fadilah yang bertajuk Access VS Audism dipublikasikan oleh Tempo/Anwar Siswadi.

Dengan melalui kreasi seni, kelompok tersebut bertujuan untuk mengenalkan pada publik secara umum tentang ciri khas serta keragaman budayanya.
tuli
Pameran tersebut pun dianggap oleh Renaya sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan penerapan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo), sambil merancang sebuah jembatan komunikasi antara teman tuli dengan mereka yang bisa mendengar.

Sebagai komitmen dalam mewujudkan visi jangka panjang tentang kesetaraan dan inklusi, acara pameran ini bukan saja memberikan platform kepada sahabat tuna rungu untuk mengungkapkan dirinya tetapi juga membuka jalur ekonomi dengan menjual serta melelang karya seni tersebut. “Kami bermaksud agar gelaran kali ini bisa mendobrak hambatan-hambatan lama dan menyediakan ruang demi penciptaan sebuah dunia yang semakin inklusif; dimana tiap insan, tanpa peduli seberapa baik atau buruknya kemampuan mendengarnya, diberi kans sama-sama untuk bertumbuh,” ungkap Renaya.

Post Comment