Menjelajahi Sejarah Haji Indonesia: Dari Masa Kolonial ke Era Digital
SEPUTAR CIBUBUR
– Perjalanan ibadah haji untuk warga Muslim di Indonesia tidak hanya merupakan rukun Islam kelima, melainkan juga komponen integral dalam narasi sejarah dengan beragam konotasi sosial, budaya, dan bahkan politis.
Sejak masa Kesultanan, melintasi era penjajahan Belanda, dan hingga ke zaman modern, penerapan ibadah haji sudah banyak berubah dalam hal aturan, metode transportasi, serta perannya bagi negara.
Asal Usul Haji dari Nusantara
Riwayat menyatakan bahwa masyarakat Muslim di Nusantara sudah menjalankan ibadah haji sejak zaman abad ke-16.
Berkas-berkas sejarah berasal dari beberapa kerajaan seperti Aceh serta Demak, tempat para ulama dan aristokrasi dicatat sebagai penjuang yang melaksanakan rukun Islam menuju Baitulmuqaddis.
Misalnya, Kesultanan Aceh memiliki rute laut langsung menuju Timur Tengah yang dimanfaatkan oleh para jamaah haji.
Tetapi, mengingat perjalanannya sangat jauh dan berbahaya, hanya sebagian kecil orang yang bisa melakukan haji pada waktu itu.
Haji sebagai tanda status sosial dan agama, biasanya disertai dengan dampak signifikan dalam lingkungan saat mereka pulang ke negeri ini.
Zaman Penjajahan: Haji di Bawah Pengawasan Birokrat
Selama era penjajahan Belanda, kepemulangan jemaah haji mendapat perhatian yang sangat serius dari pemerintah koloni.
Mereka cemas bahwa jemaah haji bisa membawa kembali pemikiran-pemikiran radikal dari Timur Tengah, terutama sesudah timbulnya pergerakan Pan-Islamisme pada abad ke-19.
Sebagai tanggapan, pemerintah kolonial memulai implementasi kebijakan pemantauan atas para calon jamaah haji.
Sejak tahun 1825, mereka yang bermaksud haji harus memperoleh persetujuan dari pemerintah Hindia Belanda beserta kelengkapan Administrasi dan dokumen terkait.
Belanda juga menunjuk beberapa agen perjalanan khusus untuk mengantarkan jamaah serta memberlakukan tarif haji yang cukup tinggi.
Di zaman tersebut, petualangan menuju Mekah dapat menghabiskan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan lewat rute laut, diiringi dengan bahaya signifikan termasuk epidemi penyakit, tenggelamnya kapal, dan kurangnya pasokan makanan serta barang lainnya.
Masa Pemula Kemerdekaan: Perjalanan Haji Sebagai Diplomasi dan Simbol Nasionalisme
Setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, pemerintah pun memulai proses penanganan haji secara langsung.
Perginya para jamaah bukan sekadar terkait dengan ibadah, melainkan juga menjadi sebagian dari diplomasi global.
Di era 1950-an, pemerintah Indonesia gencar membina kerja sama diplomatik dengan Arab Saudi guna menjamin keamanan serta kesejahteraan para jamaah.
Pihak berwenang pun telah menjadikan Kementerian Agama sebagai lembaga primer yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji. Dari titik tersebut, jumlah alokasi, proses pendaftaran, serta perlindungan bagi calon jemaah sepenuhnya diatur oleh pemerintah.
Modernisasi dan Digitalisasi Haji
Dengan berjalannya waktu, cara melaksanakan ibadah haji di Indonesia telah mengalami digitaisi serta modernisasi.
Dengan beralih ke penerbangan udara, jemaah saat ini dibawa dengan pesawat, mengurangi durasi perjalanan yang dulunya memakan waktu bulan-bulan menjadi hanya sekitar 9 jam saja.
Proses registrasinya pun menjadi lebih terbuka. Calon jemaah sekarang mengisi formulir secara online melalui platform yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama, namun mereka perlu bersabar menanti antrian yang dapat memakan waktu hingga belasan atau bahkan puluhan tahun di berbagai wilayah.
Pihak berwenang pun mengenalkan sejumlah fasilitas termasuk bimbingan manasik, asuransi kesehatan, serta pengawasan logistik jamaah dalam mode waktu nyata.
Pada tahun 2023, Indonesia mengantarkan lebih dari 220.000 jamaah haji, sehingga menjadi negara penyelenggara ibadah haji dengan jumlah jemaah terbanyak di planet ini.
Ini menggambarkan tingkat kegembiraan publik yang besar terhadap ibadah tersebut, sementara juga menunjukkan berbagai kesulitan dalam aspek logistik dan pengelolaan yang dijumpai oleh pihak berwenang.
Lebih dari Sekadar Ibadah
Untuk warga negara Indonesia, ibadah haji tidak sekadar suatu ritual beragama, melainkan juga sebuah prestasi yang memiliki makna spiritual dan sosial.
Gelar ‘Haji’ yang diberikan setelah kembali dari Tanah Suci tetap memiliki kehormatan tersendiri.
Sepanjang riwayat mereka, jamaah haji kerap kali tampil sebagai teladan, pemimpin di kalangan masyarakat, atau bahkan aktor utama dalam gerakan pemberontakan melawan penjajahan.
Haji turut serta dalam mendirikan jejaring intelektual dan keagamaan internasional. Banyak tokoh agama dari Indonesia yang melanjutkan pendidikannya di Mekah pasca hajinya, kemudian mereka membawa pengetahuan tersebut kembali ke tanah air guna menciptakan pondok pesantren dan mendorong gerakan dakwah di negeri asalnya. ***
Post Comment